NISAN (Cerita Di Balik Sajak)


Nisan itu masih basah saat aku melangkah meninggalkannya. Setelah terus-terusan berurai air mata, kali ini wajahku terasa agak ringan.

Kilasan-kilasan semasa nenek masih ada membuat bibirku melengkungkan senyum. Satu hal yang paling ku ingat ada pada waktu nenek meneriakkan, “Satu ekor ayam panggang ini untuk Chairil.”. Girang bukan kepalang hatiku. Lain lagi dengan kakakku, Ani, yang cuma mendapat sepotong saja.

Sesampainya di rumah, wajah itu berubah lagi. Meski tak ada air mata, tetapi suasana keharuan rumah membuat hatiku perih. Terbayang saat nenek tergolek lemah di kursi teras. “Aku tak mau mati di tempat tidur!!” itu kata nenek saat hari menjelang siang. Terang saja, seisi rumah syok. Apa pun kata-kata untuk membuainya tetap tak menggerakkan hatinya untuk berubah. Akhirnya kami membopongnya ke teras.

Sejak saat itu, aku mulai berpikir. Berpikir tentang hidup dan mati. Pernah aku dengar bahwa hidup di dunia adalah persiapan untuk menghadapi hidup yang kekal di akhirat. Tapi kenapa hidup kekal itu harus di akhirat? Kalau memang aturannya begitu, kenapa tidak kita dilahirkan saja di akhirat, supaya tidak ada kematian yang memilukan hati dan jiwa?

Kehidupan dunia—bagiku—hanya permainan bagi manusia yang diciptakan Tuhan. Entah untuk apa aku tak mengerti. Manusia dilahirkan, lalu tumbuh besar, mengalami sakit, ada yang dapat prestasi, ada yang punya banyak teman, ada yang tidak punya teman sama sekali, ada yang suka menyiksa batin dan jiwa orang lain, ada yang terseret-seret waktu dalam kecacatan, dan masih banyak lagi yang aku pun tak tahu.

“Tuhan punya kuasa atas hidup dan mati, anakku.” Begitu tandas ayah saat aku menangis tersedu. “Berat memang. Dan hanya keridlaan yang membuatnya lebih terasa lebih ringan.”

“Tuhan yang maha tinggi punya kuasa atas segalanya. Bahkan debu sekalipun tak luput dari kuasanya.”. Kali ini ibu angkat pendapat menasihatiku.

Lantas, saat kematian datang, haruskan hanya kita—manusia—yang merasakan duka? Apa yang dilakukan Tuhan saat itu terjadi? Apakah Tuhan ikut berduka atau malah tertawa seiring berlangsungnya permainan yang Dia ciptakan?

Kali ini ayah dan ibu terdiam cukup lama. Bukan cukup lama, tapi sangat lama.



Nisan

Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta

Oktober 1942

Tidak ada komentar:

Posting Komentar